Budaya (Seni dan Sastra)

Kolom Juara R. Ginting: PAHAM ORIENTASI HULU-HILIR? — Bagian 2 (Habis)

"Sunday, 12 March 2023"Article image of Kolom Juara R. Ginting: PAHAM ORIENTASI HULU-HILIR? — Bagian 2 (Habis)

Sampai sekarang, setelah beberapa hari, belum ada yang menjawab quiz saya mengenai “dari mana ke mana air sungai mengalir”. Dua hari lalu, saya menelepon beberapa teman untuk bisa langsung mengetahui sejauh mana pemahaman mereka mengenai arah Hulu–Hilir.

Dari semua yang saya tanyai itu, saya beri nilai 30 (dari nilai maksimal 100) terhadap jawaban mereka.

Tapi, saya menemukan di mana letak permasalahan sehingga mereka bingung. Mereka mengartikan Hulu sama dengan “awal” seperti halnya dalam pernyataan “Sungai Lau Biang berhulu di Gunung Sipiso-piso”.

Dalam kalimat “Sungai Lau Biang berhulu di Gunung Sipiso-piso”, lawan katanya bukanlah hilir, tapi muara. Jadi, Sungai Lau Biang berhulu di Gunung Sipiso-piso (Kabupaten Karo) dan bermuara di Selat Sumatera setelah beralihnama menjadi Sungai Wampu di Kabupaten Langkat.

Pertanyaan “dari mana dan ke mana air sungai mengalir” jawabannya adalah “dari hulu ke hilir”.

Kebingungan terjadi karena kata hulu memiliki dua arti, yaitu awal dari sebuah aliran sungai (kontrasnya muara) dan bagian atas dari aliran sebuah sungai (kontrasnya hilir).

Pertanyaannya, mengapa sampai usia tua soal beginian saja masih bingung? Kalau di tingkat Sekolah Dasar (SD) hal-hal seperti ini sudah dituntaskan di kelas, tentu kebingungan tidak terjadi di hari tua.

Beberapa minggu lalu, saya membuat quiz yang mirip di dinding fb saya pribadi dengan pertanyaan “apakah kontras kata kahe“. Juga tidak ada yang bisa menjawabnya. Tapi, juga ada sesuatu yang menarik dari jawaban-jawaban mereka.

Salah satu contohnya, ada yang menjawab kontras kahe adalah nangkeng. Ini menarik karena kendaraan yang turun dari Dataran Tinggi Karo ke Medan disebut kahe. Sementara kendaraan yang sebaliknya bergerak mendaki dari Medan ke Dataran Tinggi Karo disebut nangkeng.

Menariknya adalah bahwa dia menjawab pertanyaan dengan mengandalkan pengalamannya pribadi, yang saya nilai tidak salah, tapi tidak cukup modal melakukan eksplorasi pembagian wilayah Karo.

Lalu, saya katakan padanya, dia ada benarnya bila merujuk pada gerak kendaraan itu dimana kahe berarti ku jahe (ke hilir), sedangkan nangkeng berarti mendaki. Ini benar karena Medan adalah bagian dari Karo Jahe (Karo Hilir), sedangkan Dataran Tinggi Karo dalam Bahasa Karo disebut Karo Gugung.

Hanya saja, ditinjau dari kata per kata, kontras dari kahe adalah kolu. Untuk meyakinkannya, saya bisikkan lagu Family Taxi yang liriknya mengatakan “Family Taxi dalenna kahe kolu, turang“? Dan dia pun menjadi yakin.

Kahe berasal dari dua kata ku [j]ahe, sedangkan kolu dari ku [j]ulu.

Di sinilah letak persoalannya. Ketika saya menampilkan sebuah artikel mengenai pembagian Taneh Karo secara tradisional, sepertinya para pembaca berusaha menghapalnya saja tapi tidak ada upaya memahaminya.

Baru sekaranglah saya memahami masalahnya. Sudah sejak kakek nenek kami orang-orang Karo terbiasa berbahasa Melayu, sehingga orang-orang Karo mudah mempelajari Bahasa Indonesia. Tapi, pelajaran Bahasa Daerah sepertinya masih terlalu sangat minim terhadap pendekatakan semantik (arti kata).

Di SD memang kami sudah belajar arti leksikal dan gramatikal dari kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Tapi, sekarang, saya sadari memang guru-guru kami dulu pun jarang menggunakan contoh kata-kata di sekitar kita seperti halnya hulu dan hilir.

Belum lagi kalau kita tertarik pada Etimologi (asal usul kata). Kata julu dalam Bahasa Karo, variannya adalah hulu (Melayu). Kata dasarnya adalah ulu (Austronesia) yang artinya kepala. Sementara jahe (hilir) variannya dalam Bahasa Karo adalah kahe (ke hilir) dan nahe (kaki).

Kemarin saya mengadakan chatting dengan seseorang mengenai masalah ini. Saya mengeluhkan mengapa hal-hal sederhana seperti ini bisa terabai dari perhatian orang-orang Karo yang sangat ambisius mengangkat Suku Karo dan kebudayaannya ke dunia yang lebih luas.

Kataku padanya:

“Kalau di Karo Timur, pengertian jahe dan julu mengikut aliran sungai setempat yang terpenting. Itu saja inti tulisan-tulisanku dari kemarin dulu. Tapi aku menemukan kalau hulu–hilir saja tidak dimengerti. Padahal itu Bahasa Indonesia.”

Ini jawabannya:

“Hmmm…. Sudah terlalu tinggi kajian mereka semua. Jadi, mereka tidak mengerti lagi hal-hal sederhana. Mungkin pembaca agak sulit memahaminya karena tidak merasa penting tentang hal tersebut”.

“Kesimpulenku pun begitu,” kataku menimpali.

“Namun, jangan bosan menulis tentang hal itu, sehingga ada saatnya nanti orang-orang akan paham tujuan dari tulisan itu dan bersyukur kalau ada kam yang selalu mengingatkannya.”

Selalu memang ada kecenderungan kalau para generasi muda Karo mau menyampaikan teori-teori besar dalam membela kinikaron maupun dalam Gerakan Karo Bukan Batak (KBB). Ada yang mengutip tulisan-tulisan lama, teori-teori orang terkenal dan tidak jarang membuat teori sendiri yang tidak berdasar ilmiah sama sekali.

Saya sudah berkali-kali mengingatkan, informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai Karo di masa lalu dan sekarang sudah cukup membuat dunia terpesona dan lawan-lawan KBB terkulai lesu. Contoh kecil dan nyata di depan mata, di mana lagi di Indonesia ini ada pesta kerja tahun seperti yang dilaksanakan di Karo?

Tapi, seperti yang diingatkan oleh putri saya beberapa tahun lalu ketika mempertanyakan mengapa anak-anak muda Karo lebih suka belajar kulcapi daripada belobat atau surdam.

“Papa, belobat dan surdam kurang sensional. Kalau kulcapi terkesan mencengangkan,” katanya mengingatkan.

Lain lagi dengan Nande Tigan, “mereka menganggap terlalu kecil hal-hal kecil itu.”

HABIS